Sebelum dimulai kisahku sebagai ex penderita Fobia Sosial, mari kita bahas dulu apa itu Fobia Sosial. Fobia sosial atau yang biasa disebut dengan gangguan cemas sosial  Sosial Anxiety Disorder (SAD) merupakan ganguan kecemasan yang termasuk juga stress terhadap situasi yang umum atau kondisi sosial. 

Fobia  sosial adalah gangguan jiwa yang kerap ditemukan, meski begitu perhatian terhadap fobia tersebut masih begitu kurang sehingga kerap disebut sebagai gangguan cemas yang terabaikan.

Jika dirasa sulit memahami, bahasa lugasnya dari apa itu Fobia Sosial yaitu manusia yang merasa tidak nyaman berinteraksi dengan manusia yang lain, seseorang yang merasa tidak nyaman berada dalam kondisi atau situasi sosial. 

Dalam kondisi parah seorang penderita Fobia Sosial bisa menjadi manusia yang takut ketemu manusia. Akibatnya ada yang beberapa dari mereka memilih menyembunyikan dirinya dalam tempat yang menurut mereka aman dan nyaman. Yup.. aku bersyukur belum pada tahap itu.

Aku menceritakan kisah ini bukan bermaksud menceritakan kisah piluku, tapi sekedar sharing bahwa fobia sosial pun bisa sembuh dan disembuhkan dan berbagi pengetahuan kalau fobia sosial itu nyata adanya dan cara tiap orang bisa sembuh itu beda- beda.

Sebelum cerita banyak, mungkin banyak yang belum pada tahu gejala apa saja sih yang ada pada penderita fobia sosial itu.

Gejala yang timbul dari fobia sosial secara khas akan mengalami beberapa gejala berikut:

  1. Terus menerus menderita cemas
  2. Merasa takut menatap mata orang lain
  3. Jarang berbicara dengan siapa saja meski orang tersebut dikenalnya
  4. Merasa cemas atau takut untuk berjumpa dengan orang baru
  5. Merasa panik selama berada di tempat keramaian, misalnya saat makan dengan orang lain, berbicara di depan public, atau menghadiri pertemuan/rapat.
  6. Merasa gelisah saat berada dikeramaian
  7. Jika terjadi pada Anak merasa sulit untuk berbicara di sekolah
  8. Khawatir bakal mempermalukan diri sendiri
  9. Senantiasa merasa takut disituasi dimana anda sedang dinilai, diperhatikan maupun dijudge
  10. Menghindari dimana akan menjadi pusat perhatian
  11. Cemas/takut menerima telepon dari orang yang tidak dikenal
  12. Khawatir bahwa orang lain akan melihatnya sedang cemas atau takut
  13. Takut untuk menatap orang lain
  14. Bersembunyi atau menghindar saat ada tamu yang belum dikenal berkunjung ke rumah
  15. Menghindar dari kegiatan sosial, meski kegiatan tersebut tampak menyenangkan
  16. Begitu sulit untuk berbicara di lingkungan sosial
  17. Kondisi emosional yang tidak menentu.
  18. Timbulnya gejala - gejala fisik fobia sosial seperti  :
  • Wajah memerah, blushing.
  • Napas pendek-pendek.
  • Sakit perut, mual.
  • Gemetar, termasuk suara yang gemetar.
  • Jantung deg-degan atau dada terasa sesak.
  • Berkeringat atau hot flashes.
  • Merasa pusing atau ingin pingsan.
  • Tangan terasa dingin

              baca juga : Waspadai Fobia Sosial Pada Anak Sejak Dini

              How about me? of course dari semua point diatas tersebut pernah ada dan terjadi padaku. Sebagai seorang manusia tentu itu berat dan menyusahkan. Aku bahkan takut dan cemas untuk sekedar bersuara dan mendengarkan suaraku sendiri di tempat yang banyak orang, contohnya nih di angkot atau bis..sekedar mau bilang.."pak, berhenti"....hadew..aku bisa deg2an nggak karuan dan tanganku dingin..

              Aku sang mantan penderita fobia sosial. Mantan? yes.. Walau mungkin belum benar - benar mantan atau ex penderita. Tapi setidaknya ak merasa jauh lebih baik daripada dulu. All about Feeling..yea...that's true.

              Dahulu (cerita dimulai ketika masih kecil ya).....Sekilas mungkin aku tidak jauh beda dengan anak kebanyakan. Semuanya tampak normal dan biasa saja. Tapi sebenarnya tidak, aku harus terus berjuang hidup dalam kecemasan yang nggak jelas.

              Kalau diingat lagi sejak kapan aku menderita fobia sosial, sepertinya sejak masih kecil tepatnya diusia SD. dan aku menyadari kalau aku berbeda sejak kelas 3 SD. Dimana saat itu ada kondisi dimana aku begitu merasa ketakutan ketika berada dikondisi perhatian orang - orang tertuju padaku. 

              Saat itu aku hanya berpikir kalau mungkin aku sedang "grogi" dan itu wajar. Tapi, yang kurasakan grogiku saat itu berasa berlebihan, aku bahkan nyaris tidak bisa berdiri diatas kakiku dan tidak bisa mengontrol diriku sendiri dan berasa mau pingsan. Dan ini aneh...

              Sejak peristiwa itu, aku berpikir dan bertanya pada diriku sendiri...Ada apa denganku?tak juga kutemukan jawabnya. dan setelah itu yang terjadi adalah hal yang sama..kecemasan yang tidak kumengerti. Walaupun banyak yang sudah kulakukan untuk menghilangkan kecemasan tersebut. 

              Akupun sudah mengatakan tentang yang kurasakan pada keluarga, tapi nothing to do. Aku tidak menyalahkan keluargaku kalau tidak ada support dari mereka. Hal tersebut dikarenakan kurang pahamnya ortuku akan parenting. Maklum aku hidup dikampung yang notabene orang- orangnya tidak melek akan informasi dan kurangnya pengetahuan akan tumbuh kembang anak.

              Ketika masuk SMP, aku merasa kondisiku juga tidak jauh lebih baik. Aku tidak bisa banyak bergaul dengan teman. Sehari - hari waktuku banyak ku habiskan membaca di dalam kelas karena aku menghindari tempat tempat yang ramai orang. Entahlah ada perasaan cemas dan tidak percaya diri yang tidak kumengerti.

              Bagaimana dengan kehidupan saat masih SMU? Justru yang kurasakan fobiaku makin parah. Aku mengalami perasaan minder yang berlebihan. Aku semakin tidak bisa banyak bergaul dengan teman dan menarik diri dari pergaulan. Lebih banyak menghabiskan waktu di kelas dan di kos. 

              Ketika harusnya masa SMU adalah masa - masa dimana seorang remaja mencoba banyak hal baru dan banyak bergaul. Hal tersebut tidak berlaku bagiku. Hidupku hanya berkutat di sekolah dan di kos saja.

              Tidak banyak bicara, menutup diri itu sudah menjadi bagian diriku saat itu dan yang paling parah aku bahkan tidak bisa bersuara kalau berada didepan kelas. 

              Berada di tengah - tengah banyak orang setiap hari saat itu sangat menyiksa. Apapun kondisinya aku masih bersyukur karena masih ada juga yang mau berteman denganku.

              Awal masuk kuliah, seperti  dunia yang baru buatku. Seakan aku adalah seorang bayi yang baru lahir dan belajar mengenal kehidupan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku akan sanggup bertahan berada di tengah banyak orang setiap hari, baik itu di kos maupun di kampus. 

              Sungguh perjuangan yang berat saat itu. Kehidupan sosial sebagai mahluk sosial benar - benar dimulai disini. Rasanya seperti bayi baru belajar berjalan,  aku tertatih tertatih menjalani hidup sebagai manusia. Kadang kalau di kampus, aku suka menyendiri, jarang tersenyum dan tidak banyak bicara. 

              Mungkin banyak orang yang menganggapku  sombong dan tidak mau bergaul.  Ahhh..mereka tidak tahu yang kurasakan...sudah berani datang ke lingkungan kampus yang notabene disitu banyak orang saja itu sudah luar biasa buatku.

              Yaaa....Setidaknya aku bersyukur karena  masih ada orang yang mau berteman denganku meskipun aku sendiri merasa aneh. Setidaknya aku bersyukur teman - teman kosku saat itu juga sangat baik padaku. Walau kadang semuanya juga tidak berjalan baik karena kecemasanku dan keanehanku. 

              Tapi  aku masih bersyukur karena pada akhirnya mampu melewatinya...yeiii...berhasil lulus juga. Karena banyak juga lho..teman-teman yang sepertiku pada akhirnya menyerah untuk tidak melanjutkan kuliah akibat fobia yang diderita.

              Saat  memasuki dunia kerja, disitu juga aku kembali didera kegalauan. Bisakah aku? tiap hari harus ketemu banyak orang. Bisakah aku bertahan hidup tiap hari dengan banyak orang disekelilingku. 

              Kalau ingat itu rasanya ingin pergi kehutan dan bersembunyi. Tapi aku tidak bisa, semuanya harus dihadapi. Aku butuh bekerja demi bersuap - suap nasi karena tidak mungkin aku terus menggantungkan hidupku pada ortu. Banyak juga kudengar nyinyiran orang.."ihhh sombong nya.."..."orang kok nggak mau senyum"..disapa kok diam saja"..."jadi orang kok nggak mau ngumpul-ngumpul".."orang kok nggak mau bergaul"..dan banyak lagi yang sejenis itu...haloooo.....untuk  orang normal mungkin melakukan hal - hal seperti itu mudah, tapi tidak bagi orang "UNIK" sepertiku....

              Ketakutanku pada situasi - situasi resmi/ formal dan kecemasan yang kurasakan tiap hari membuatku browsing diinternet. apa yang sebenarnya kurasakan? adakah orang - orang yang mengalami seperti. kecemasan berada di lingkungan dan situasi sosial.  

              Ternyata  disitu aku baru tahu, berdasarkan gejala- gejalanya kemungkinan aku menderita Sosial Fobia. Kukumpulkan banyak artikel dan bagaimana cara  mengatasinya walau tidak banyak membuahkan hasil.

              Hingga pada akhirnya dari internet pula aku ketemu orang - orang yang mengalami hal yang sama sepertiku. Kami bisa bertemu dan sharing bersama...yeiii..aku tidak sendiri ternyata...

              Hingga disuatu titik, dimana aku tidak bisa menahan semua rasa. Aku terus menerus menderita kecemasan dan parahnya lebih extrim karena sudah diikuti gejala gejala fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, muka panas yang sudah tidak terkontrol lagi. 

              Pada akhirnya aku memutuskan mendatangi dokter Jiwa di salah satu rumah sakit Umum di kotaku. Kebetulan saat itu ada  suami yang mengantarku, tapi sampai disana aku kaget, ternyata kebanyakan yang ke dokter jiwa adalah orang - orang yang benar - benar "gila"..karena malu, aku langsung mau kabur saja..gengsi dong, aku belum gila kok.

              Untungnya pak suami meyakinkanku untuk mencoba saja dulu. Cuma karena fasilitas rumah sakit umum yang..hmm.. bgitu. Jadi tidak nyaman saat harus datang kesana. Akhirnya aku lebih memilih untuk melanjutkan pengobatanku di Rumah sakit swasta di kotaku, karena disitu bisa konsultasi dengan dokternya dengan lebih privat.

              Memang tidak bisa dipungkiri, kalau image pergi ke dokter jiwa bagi masyarakat kita  banyak di artikan hanya untuk orang - orang yang gila atau hilang akal. 

              Padahal seharusnya tidak, yang namanya penyakit kejiwaan itu banyak, dan fobia adalah salah satunya. Harus diakui, aku sendiri setiap pergi ke dokter jiwa ada perasaan terbebani juga (kwatir kalau ada yang tahu..malu kan..).

              Pengobatan fobia sosial melalui dokter jiwa memang kurang begitu efektif untuk meyembuhkan fobia sosial. Karena biasanya dokter hanya memberikan obat untuk meredakan gejala - gejala fisiknya.

              Harusnya pengobatan melalui dokter jiwa juga harus diimbangi dengan terapi mental, seperti hipnoterapy atau sejenisnya.

              Setelah menjalani pengobatan, memang efek yang didapat lumayan juga, setidaknya gejala fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin atau muka panas  dan sejenisnya  bisa teratasi. Tapi ya itu dia..biaya pengobatan lumayan mahal, maklum dokter spesialis dan obat - obatnya juga bukan obat generik.

              Setelah pengobatan 1 tahun, dan merasa kondisiku lebih baik aku mulai ikut terapi relaxing di Semarang.

              Tapi malang tak bisa dihindari dan untung tak bisa diraih, peristiwa tidak terduga terjadi. Ayahnya anak-anak yang biasa support  meninggalkanku untuk selama- lamanya. 

              Pengobatanku yang sudah berjalan hampir setahun lebih seakan tak ada artinya, aku kembali  drop dan depresi tingkat tinggi. 

              Tidak tahu harus bagaimana kondisi kejiwaanku sudah tidak menentu dan akupun memutuskan untuk berhenti ke dokter jiwa. Karena aku berpikir pengobatanpun akan percuma, karena yang terjadi selain fobia sosial, aku juga berada dalam kondisi depresi. yes..penyakit kejiwaan yang tumpuk menumpuk.

              Setelah itu yang kurasakan hanya seperti orang linglung, nggak tahu harus bagaimana lagi. Peran menjadi orang tua tunggal yang tiba-tiba menghampiriku membuatku berpikir keras. Bagaimana aku harus menjalani hidup.

              Kondisi inilah yang pada akhirnya memaksaku untuk bersosialisasi. Karena sudah tidak ada lagi orang yang biasa menemaniku hadir disuatu acara - acara sosial. Dimana aku bisa menyembunyikan diriku di belakang punggungnya. Tidak ada lagi...

              Awalnya cukup sulit, contohnya saja...ketika harus menghadiri pertemuan wali murid dipenerimaan raport misalnya, aku bahkan sudah didera kecemasan beberapa hari sebelumnya. 

              Aku dihantui pikiran - pikiran yang nggak jelas ..nanti aku harus bagaimana..aku harus ngomong apa...aku harus bersikap seperti apa...kalau masih ada ayahnya, pastinya aku tinggal ngintil di belakangnya...unfortunately beliau sudah ngak ada...aaahhh..aku nggak suka acara pertemuan - pertemuan....hiks..

              Aku menyadari kalau aku harus bangkit, aku tidak bisa terus terpuruk. Ada anak- anak dalam pengasuhanku, dan sebagai orang tua tunggal aku harus bisa menjadi wonder woman yang bisa diandalkan. Aku tidak bisa terus bersembunyi dalam kecemasanku. Setidaknya aku tidak ingin anak- anak menjadi sepertiku. So, aku harus hidup lebih baik dan pelan - pelan bangkit.

              Tidak hanya perubahan dalam kehidupan pribadiku yang punya andil terhadap perkembangan fobia sosialku, perubahan dalam lingkungan pekerjaankupun cukup menyiksaku. 

              Karena suatu hal, akhirnya aku pindah kerja di kantor yang lain, yang mana di tempat kerja yang baru banyak terkait dengan acara - acara pertemuan atau rapat. Stres..jelassss...aku yang biasa menghindari acara - acara  seperti ini, tiba - tiba harus sering dihadapkan di kondisi itu.

              Apalagi kalau harus dikondisikan berada disebuah rapat yang diharuskan untuk bicara...Mati dahh...cemas mendera, lidah terasa kaku dan otakku sekan berhenti bekerja.

              Dan gejala - gejala fisik itu pun kembali muncul dan tidak bisa ku handle lagi. Rasanya ingin melarikan diri saja...tapi aku tidak kuasa.

              Depresi selanjutnya pun kembali menghampiri kehidupan pribadiku akibat keputusan cerobohku untuk menikah kembali. Bukan kedamaian yang kudapat tapi penderitaan yang berkepanjangan. Menyesal ..PASTI..harusnya aku tidak menikah lagi kalau pada akhirnya pernikahan itu hanya akan menciptakan luka baru.

              Hidup..oh...hidup...Ternyata banyak drama yang terjadi. Sayang kisahnya tidak seindah drama korea yang biasa kutonton...

              Akrab dengan kesulitan hidup, membuatku melupakan fobia sosialku. Sedikit demi sedikit kondisiku sudah menjadi lebih baik. 

              Setidaknya aku sudah merasa nyaman menghadiri pertemuan wali murid, meski sekedar menjadi pendengar disana. Setidaknya aku bisa membawa anak- anak bepergian kesuatu tempat yang baru tanpa harus merasa cemas kan bertemu dengan orang - orang baru. Setidaknya lagi aku bisa membawa anak- anak sekedar makan di warung yang banyak orang tanpa cemas pula. Itu sudah prestasi yang luar biasa....yaaahh..Bisa karena terpaksa...

              Apa aku benar - benar sudah sembuh total? menurutku sih belum, aku masih takut saat harus berbicara di forum, aku masih tidak nyaman saat harus menelpon atau menerima telpon. Aku masih kurang bisa bergaul atau mengobrol langsung dengan orang -orang baru...cemas - cemas nggak jelas kadang masih muncul juga...

              Kesimpulannya, apa sih yang sebenarnya membantu menyembuhkan Fobia sosialku? Jawabannya adalah Takdir..haha..bukan juga, mungkin ujian hidupku lah yang membantu menyembuhkannya. 

              Ada hikmah dibalik semua musibah...Dibalik semua peristiwa pahit yang kualami, mungkin inilah salah satu hikmahnya...Apapun itu masih banyak yang harus kusyukuri...yach..aku tetap bersyukur dengan segala keadaanku.

              Perjuangan Untuk Sembuh dari Fobia Sosial : ini Kisahku


              Sebelum dimulai kisahku sebagai ex penderita Fobia Sosial, mari kita bahas dulu apa itu Fobia Sosial. Fobia sosial atau yang biasa disebut dengan gangguan cemas sosial  Sosial Anxiety Disorder (SAD) merupakan ganguan kecemasan yang termasuk juga stress terhadap situasi yang umum atau kondisi sosial. 

              Fobia  sosial adalah gangguan jiwa yang kerap ditemukan, meski begitu perhatian terhadap fobia tersebut masih begitu kurang sehingga kerap disebut sebagai gangguan cemas yang terabaikan.

              Jika dirasa sulit memahami, bahasa lugasnya dari apa itu Fobia Sosial yaitu manusia yang merasa tidak nyaman berinteraksi dengan manusia yang lain, seseorang yang merasa tidak nyaman berada dalam kondisi atau situasi sosial. 

              Dalam kondisi parah seorang penderita Fobia Sosial bisa menjadi manusia yang takut ketemu manusia. Akibatnya ada yang beberapa dari mereka memilih menyembunyikan dirinya dalam tempat yang menurut mereka aman dan nyaman. Yup.. aku bersyukur belum pada tahap itu.

              Aku menceritakan kisah ini bukan bermaksud menceritakan kisah piluku, tapi sekedar sharing bahwa fobia sosial pun bisa sembuh dan disembuhkan dan berbagi pengetahuan kalau fobia sosial itu nyata adanya dan cara tiap orang bisa sembuh itu beda- beda.

              Sebelum cerita banyak, mungkin banyak yang belum pada tahu gejala apa saja sih yang ada pada penderita fobia sosial itu.

              Gejala yang timbul dari fobia sosial secara khas akan mengalami beberapa gejala berikut:

              1. Terus menerus menderita cemas
              2. Merasa takut menatap mata orang lain
              3. Jarang berbicara dengan siapa saja meski orang tersebut dikenalnya
              4. Merasa cemas atau takut untuk berjumpa dengan orang baru
              5. Merasa panik selama berada di tempat keramaian, misalnya saat makan dengan orang lain, berbicara di depan public, atau menghadiri pertemuan/rapat.
              6. Merasa gelisah saat berada dikeramaian
              7. Jika terjadi pada Anak merasa sulit untuk berbicara di sekolah
              8. Khawatir bakal mempermalukan diri sendiri
              9. Senantiasa merasa takut disituasi dimana anda sedang dinilai, diperhatikan maupun dijudge
              10. Menghindari dimana akan menjadi pusat perhatian
              11. Cemas/takut menerima telepon dari orang yang tidak dikenal
              12. Khawatir bahwa orang lain akan melihatnya sedang cemas atau takut
              13. Takut untuk menatap orang lain
              14. Bersembunyi atau menghindar saat ada tamu yang belum dikenal berkunjung ke rumah
              15. Menghindar dari kegiatan sosial, meski kegiatan tersebut tampak menyenangkan
              16. Begitu sulit untuk berbicara di lingkungan sosial
              17. Kondisi emosional yang tidak menentu.
              18. Timbulnya gejala - gejala fisik fobia sosial seperti  :
              • Wajah memerah, blushing.
              • Napas pendek-pendek.
              • Sakit perut, mual.
              • Gemetar, termasuk suara yang gemetar.
              • Jantung deg-degan atau dada terasa sesak.
              • Berkeringat atau hot flashes.
              • Merasa pusing atau ingin pingsan.
              • Tangan terasa dingin

                          baca juga : Waspadai Fobia Sosial Pada Anak Sejak Dini

                          How about me? of course dari semua point diatas tersebut pernah ada dan terjadi padaku. Sebagai seorang manusia tentu itu berat dan menyusahkan. Aku bahkan takut dan cemas untuk sekedar bersuara dan mendengarkan suaraku sendiri di tempat yang banyak orang, contohnya nih di angkot atau bis..sekedar mau bilang.."pak, berhenti"....hadew..aku bisa deg2an nggak karuan dan tanganku dingin..

                          Aku sang mantan penderita fobia sosial. Mantan? yes.. Walau mungkin belum benar - benar mantan atau ex penderita. Tapi setidaknya ak merasa jauh lebih baik daripada dulu. All about Feeling..yea...that's true.

                          Dahulu (cerita dimulai ketika masih kecil ya).....Sekilas mungkin aku tidak jauh beda dengan anak kebanyakan. Semuanya tampak normal dan biasa saja. Tapi sebenarnya tidak, aku harus terus berjuang hidup dalam kecemasan yang nggak jelas.

                          Kalau diingat lagi sejak kapan aku menderita fobia sosial, sepertinya sejak masih kecil tepatnya diusia SD. dan aku menyadari kalau aku berbeda sejak kelas 3 SD. Dimana saat itu ada kondisi dimana aku begitu merasa ketakutan ketika berada dikondisi perhatian orang - orang tertuju padaku. 

                          Saat itu aku hanya berpikir kalau mungkin aku sedang "grogi" dan itu wajar. Tapi, yang kurasakan grogiku saat itu berasa berlebihan, aku bahkan nyaris tidak bisa berdiri diatas kakiku dan tidak bisa mengontrol diriku sendiri dan berasa mau pingsan. Dan ini aneh...

                          Sejak peristiwa itu, aku berpikir dan bertanya pada diriku sendiri...Ada apa denganku?tak juga kutemukan jawabnya. dan setelah itu yang terjadi adalah hal yang sama..kecemasan yang tidak kumengerti. Walaupun banyak yang sudah kulakukan untuk menghilangkan kecemasan tersebut. 

                          Akupun sudah mengatakan tentang yang kurasakan pada keluarga, tapi nothing to do. Aku tidak menyalahkan keluargaku kalau tidak ada support dari mereka. Hal tersebut dikarenakan kurang pahamnya ortuku akan parenting. Maklum aku hidup dikampung yang notabene orang- orangnya tidak melek akan informasi dan kurangnya pengetahuan akan tumbuh kembang anak.

                          Ketika masuk SMP, aku merasa kondisiku juga tidak jauh lebih baik. Aku tidak bisa banyak bergaul dengan teman. Sehari - hari waktuku banyak ku habiskan membaca di dalam kelas karena aku menghindari tempat tempat yang ramai orang. Entahlah ada perasaan cemas dan tidak percaya diri yang tidak kumengerti.

                          Bagaimana dengan kehidupan saat masih SMU? Justru yang kurasakan fobiaku makin parah. Aku mengalami perasaan minder yang berlebihan. Aku semakin tidak bisa banyak bergaul dengan teman dan menarik diri dari pergaulan. Lebih banyak menghabiskan waktu di kelas dan di kos. 

                          Ketika harusnya masa SMU adalah masa - masa dimana seorang remaja mencoba banyak hal baru dan banyak bergaul. Hal tersebut tidak berlaku bagiku. Hidupku hanya berkutat di sekolah dan di kos saja.

                          Tidak banyak bicara, menutup diri itu sudah menjadi bagian diriku saat itu dan yang paling parah aku bahkan tidak bisa bersuara kalau berada didepan kelas. 

                          Berada di tengah - tengah banyak orang setiap hari saat itu sangat menyiksa. Apapun kondisinya aku masih bersyukur karena masih ada juga yang mau berteman denganku.

                          Awal masuk kuliah, seperti  dunia yang baru buatku. Seakan aku adalah seorang bayi yang baru lahir dan belajar mengenal kehidupan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku akan sanggup bertahan berada di tengah banyak orang setiap hari, baik itu di kos maupun di kampus. 

                          Sungguh perjuangan yang berat saat itu. Kehidupan sosial sebagai mahluk sosial benar - benar dimulai disini. Rasanya seperti bayi baru belajar berjalan,  aku tertatih tertatih menjalani hidup sebagai manusia. Kadang kalau di kampus, aku suka menyendiri, jarang tersenyum dan tidak banyak bicara. 

                          Mungkin banyak orang yang menganggapku  sombong dan tidak mau bergaul.  Ahhh..mereka tidak tahu yang kurasakan...sudah berani datang ke lingkungan kampus yang notabene disitu banyak orang saja itu sudah luar biasa buatku.

                          Yaaa....Setidaknya aku bersyukur karena  masih ada orang yang mau berteman denganku meskipun aku sendiri merasa aneh. Setidaknya aku bersyukur teman - teman kosku saat itu juga sangat baik padaku. Walau kadang semuanya juga tidak berjalan baik karena kecemasanku dan keanehanku. 

                          Tapi  aku masih bersyukur karena pada akhirnya mampu melewatinya...yeiii...berhasil lulus juga. Karena banyak juga lho..teman-teman yang sepertiku pada akhirnya menyerah untuk tidak melanjutkan kuliah akibat fobia yang diderita.

                          Saat  memasuki dunia kerja, disitu juga aku kembali didera kegalauan. Bisakah aku? tiap hari harus ketemu banyak orang. Bisakah aku bertahan hidup tiap hari dengan banyak orang disekelilingku. 

                          Kalau ingat itu rasanya ingin pergi kehutan dan bersembunyi. Tapi aku tidak bisa, semuanya harus dihadapi. Aku butuh bekerja demi bersuap - suap nasi karena tidak mungkin aku terus menggantungkan hidupku pada ortu. Banyak juga kudengar nyinyiran orang.."ihhh sombong nya.."..."orang kok nggak mau senyum"..disapa kok diam saja"..."jadi orang kok nggak mau ngumpul-ngumpul".."orang kok nggak mau bergaul"..dan banyak lagi yang sejenis itu...haloooo.....untuk  orang normal mungkin melakukan hal - hal seperti itu mudah, tapi tidak bagi orang "UNIK" sepertiku....

                          Ketakutanku pada situasi - situasi resmi/ formal dan kecemasan yang kurasakan tiap hari membuatku browsing diinternet. apa yang sebenarnya kurasakan? adakah orang - orang yang mengalami seperti. kecemasan berada di lingkungan dan situasi sosial.  

                          Ternyata  disitu aku baru tahu, berdasarkan gejala- gejalanya kemungkinan aku menderita Sosial Fobia. Kukumpulkan banyak artikel dan bagaimana cara  mengatasinya walau tidak banyak membuahkan hasil.

                          Hingga pada akhirnya dari internet pula aku ketemu orang - orang yang mengalami hal yang sama sepertiku. Kami bisa bertemu dan sharing bersama...yeiii..aku tidak sendiri ternyata...

                          Hingga disuatu titik, dimana aku tidak bisa menahan semua rasa. Aku terus menerus menderita kecemasan dan parahnya lebih extrim karena sudah diikuti gejala gejala fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, muka panas yang sudah tidak terkontrol lagi. 

                          Pada akhirnya aku memutuskan mendatangi dokter Jiwa di salah satu rumah sakit Umum di kotaku. Kebetulan saat itu ada  suami yang mengantarku, tapi sampai disana aku kaget, ternyata kebanyakan yang ke dokter jiwa adalah orang - orang yang benar - benar "gila"..karena malu, aku langsung mau kabur saja..gengsi dong, aku belum gila kok.

                          Untungnya pak suami meyakinkanku untuk mencoba saja dulu. Cuma karena fasilitas rumah sakit umum yang..hmm.. bgitu. Jadi tidak nyaman saat harus datang kesana. Akhirnya aku lebih memilih untuk melanjutkan pengobatanku di Rumah sakit swasta di kotaku, karena disitu bisa konsultasi dengan dokternya dengan lebih privat.

                          Memang tidak bisa dipungkiri, kalau image pergi ke dokter jiwa bagi masyarakat kita  banyak di artikan hanya untuk orang - orang yang gila atau hilang akal. 

                          Padahal seharusnya tidak, yang namanya penyakit kejiwaan itu banyak, dan fobia adalah salah satunya. Harus diakui, aku sendiri setiap pergi ke dokter jiwa ada perasaan terbebani juga (kwatir kalau ada yang tahu..malu kan..).

                          Pengobatan fobia sosial melalui dokter jiwa memang kurang begitu efektif untuk meyembuhkan fobia sosial. Karena biasanya dokter hanya memberikan obat untuk meredakan gejala - gejala fisiknya.

                          Harusnya pengobatan melalui dokter jiwa juga harus diimbangi dengan terapi mental, seperti hipnoterapy atau sejenisnya.

                          Setelah menjalani pengobatan, memang efek yang didapat lumayan juga, setidaknya gejala fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin atau muka panas  dan sejenisnya  bisa teratasi. Tapi ya itu dia..biaya pengobatan lumayan mahal, maklum dokter spesialis dan obat - obatnya juga bukan obat generik.

                          Setelah pengobatan 1 tahun, dan merasa kondisiku lebih baik aku mulai ikut terapi relaxing di Semarang.

                          Tapi malang tak bisa dihindari dan untung tak bisa diraih, peristiwa tidak terduga terjadi. Ayahnya anak-anak yang biasa support  meninggalkanku untuk selama- lamanya. 

                          Pengobatanku yang sudah berjalan hampir setahun lebih seakan tak ada artinya, aku kembali  drop dan depresi tingkat tinggi. 

                          Tidak tahu harus bagaimana kondisi kejiwaanku sudah tidak menentu dan akupun memutuskan untuk berhenti ke dokter jiwa. Karena aku berpikir pengobatanpun akan percuma, karena yang terjadi selain fobia sosial, aku juga berada dalam kondisi depresi. yes..penyakit kejiwaan yang tumpuk menumpuk.

                          Setelah itu yang kurasakan hanya seperti orang linglung, nggak tahu harus bagaimana lagi. Peran menjadi orang tua tunggal yang tiba-tiba menghampiriku membuatku berpikir keras. Bagaimana aku harus menjalani hidup.

                          Kondisi inilah yang pada akhirnya memaksaku untuk bersosialisasi. Karena sudah tidak ada lagi orang yang biasa menemaniku hadir disuatu acara - acara sosial. Dimana aku bisa menyembunyikan diriku di belakang punggungnya. Tidak ada lagi...

                          Awalnya cukup sulit, contohnya saja...ketika harus menghadiri pertemuan wali murid dipenerimaan raport misalnya, aku bahkan sudah didera kecemasan beberapa hari sebelumnya. 

                          Aku dihantui pikiran - pikiran yang nggak jelas ..nanti aku harus bagaimana..aku harus ngomong apa...aku harus bersikap seperti apa...kalau masih ada ayahnya, pastinya aku tinggal ngintil di belakangnya...unfortunately beliau sudah ngak ada...aaahhh..aku nggak suka acara pertemuan - pertemuan....hiks..

                          Aku menyadari kalau aku harus bangkit, aku tidak bisa terus terpuruk. Ada anak- anak dalam pengasuhanku, dan sebagai orang tua tunggal aku harus bisa menjadi wonder woman yang bisa diandalkan. Aku tidak bisa terus bersembunyi dalam kecemasanku. Setidaknya aku tidak ingin anak- anak menjadi sepertiku. So, aku harus hidup lebih baik dan pelan - pelan bangkit.

                          Tidak hanya perubahan dalam kehidupan pribadiku yang punya andil terhadap perkembangan fobia sosialku, perubahan dalam lingkungan pekerjaankupun cukup menyiksaku. 

                          Karena suatu hal, akhirnya aku pindah kerja di kantor yang lain, yang mana di tempat kerja yang baru banyak terkait dengan acara - acara pertemuan atau rapat. Stres..jelassss...aku yang biasa menghindari acara - acara  seperti ini, tiba - tiba harus sering dihadapkan di kondisi itu.

                          Apalagi kalau harus dikondisikan berada disebuah rapat yang diharuskan untuk bicara...Mati dahh...cemas mendera, lidah terasa kaku dan otakku sekan berhenti bekerja.

                          Dan gejala - gejala fisik itu pun kembali muncul dan tidak bisa ku handle lagi. Rasanya ingin melarikan diri saja...tapi aku tidak kuasa.

                          Depresi selanjutnya pun kembali menghampiri kehidupan pribadiku akibat keputusan cerobohku untuk menikah kembali. Bukan kedamaian yang kudapat tapi penderitaan yang berkepanjangan. Menyesal ..PASTI..harusnya aku tidak menikah lagi kalau pada akhirnya pernikahan itu hanya akan menciptakan luka baru.

                          Hidup..oh...hidup...Ternyata banyak drama yang terjadi. Sayang kisahnya tidak seindah drama korea yang biasa kutonton...

                          Akrab dengan kesulitan hidup, membuatku melupakan fobia sosialku. Sedikit demi sedikit kondisiku sudah menjadi lebih baik. 

                          Setidaknya aku sudah merasa nyaman menghadiri pertemuan wali murid, meski sekedar menjadi pendengar disana. Setidaknya aku bisa membawa anak- anak bepergian kesuatu tempat yang baru tanpa harus merasa cemas kan bertemu dengan orang - orang baru. Setidaknya lagi aku bisa membawa anak- anak sekedar makan di warung yang banyak orang tanpa cemas pula. Itu sudah prestasi yang luar biasa....yaaahh..Bisa karena terpaksa...

                          Apa aku benar - benar sudah sembuh total? menurutku sih belum, aku masih takut saat harus berbicara di forum, aku masih tidak nyaman saat harus menelpon atau menerima telpon. Aku masih kurang bisa bergaul atau mengobrol langsung dengan orang -orang baru...cemas - cemas nggak jelas kadang masih muncul juga...

                          Kesimpulannya, apa sih yang sebenarnya membantu menyembuhkan Fobia sosialku? Jawabannya adalah Takdir..haha..bukan juga, mungkin ujian hidupku lah yang membantu menyembuhkannya. 

                          Ada hikmah dibalik semua musibah...Dibalik semua peristiwa pahit yang kualami, mungkin inilah salah satu hikmahnya...Apapun itu masih banyak yang harus kusyukuri...yach..aku tetap bersyukur dengan segala keadaanku.

                          Related Posts

                          Tidak ada komentar:

                          Posting Komentar